Namanya tak diragukan lagi di pentas sains dan ilmu pengetahuan abad pertengahan. Dunia sains mengenalnya sebagai salah seorang putra Islam terbaik dalam bidang filsafat, astronomi, kedokteran, dan fisika. Wawasan pengetahuannya yang demikian luas, menempatkannya sebagai pakar dan ilmuwan Muslim terbesar awal abad pertengahan. Ilmuwan itu tak lain adalah Al-Biruni. Bernama lengkap Abu Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, ilmuwan besar ini dilahirkan pada bulan September tahun 973 M, di daerah Khawarizm, Turkmenistan. Ia lebih dikenal dengan nama Al-Biruni. Nama “Al-Biruni” sendiri berarti ‘asing’, yang dinisbahkan kepada wilayah tempat tanah kelahirannya, yakni Turkmenistan. Kala itu, wilayah ini memang dikhususkan menjadi pemukiman bagi orang-orang asing.
Dibesarkan dalam
keluarga yang taat beragama, Al-Biruni tumbuh dan besar dalam lingkungan
yang mencintai ilmu pengetahuan. Tak seperti kebanyakan ilmuwan Muslim
lainnya, masa muda Al-Biruni tak banyak terlacak oleh sejarah. Meski
demikian, dari beberapa literatur diketahui, ilmuwan besar ini
memperoleh pendidikan dasarnya dari beberapa ulama ternama di masanya,
antara lain Syeikh Abdus Shamad bin Abdus Shamad. Di
bidang kedokteran, ia belajar pada Abul Wafa’ Al-Buzayani, serta kepada
Abu Nasr Mansur bin Ali bin Iraq untuk ilmu pasti dan astronomi. Tak
heran bila ulama tawadlu dan gemar baca-tulis ini sudah tersohor sebagai
seorang ahli di banyak bidang ilmu sejak usia muda.
Sebagai
ilmuwan ulung, Al-Biruni tak henti-hentinya mengais ilmu, termasuk
dalam setiap penjelajahannya ke beberapa negeri, seperti ke Iran dan
India. Jamil Ahmed dalam Seratus Tokoh Muslim mengungkapkan,
penjelajahan paling terkesan tokoh ini adalah ke daerah Jurjan, dekat
Laut Kaspia (Asia Tengah), serta ke wilayah India. Penjelajahan itu
sebenarnya tak disengaja. Alkisah, setelah beberapa lamanya menetap di
Jurjan, Al-Biruni memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya. Namun
tak disangkanya, ia menyaksikan tanah kelahirannya itu penuh konflik
antaretnis. Kenyataan ini dimanfaatkan oleh Sultan Mahmoud Al-Gezna,
yang melakukan invasi dan menaklukkan Jurjan.
Keberhasilan
penaklukkan ini membawa Al-Biruni melanglang ke India bersama tim
ekspedisi Sultan Mahmoud. Di sini, ia banyak menelorkan karya tulis,
baik berupa buku maupun artikel ilmiah yang disampaikannya dalam
beberapa pertemuan. Selain menghasilkan karya, penjelajahan bersama sang
Sultan ini juga menghasilkan dibukanya kawasan India bagian timur
sebagai basis baru dakwah Islam Al-Biruni.
Dalam
rangkaian ‘tur’ nya di India ini, Al-Biruni memanfaatkan waktu luang
bagi penelitian sekitar adat istiadat dan perilaku masyarakat setempat.
Dari penelitiannya inilah, beberapa karya berbobot lahir (lihat boks).
Tak hanya itu, Al-Biruni pula yang pertama memperkenalkan permainan
catur ‘ala’ India ke negeri-negeri Islam, serta menjelaskan
problem-problem trigonometri lanjutan dalam karyanya, Tahqiq Al-Hind.
Dalam kaitan ini, ia berkata, “Saya telah menerjemahkan ke dalam bahasa
Arab dua karya India, yakni Sankhya, yang mengupas tentang asal-usul dan
kualitas benda-benda yang memiliki eksistensi, dan kedua berjudul
Patanial (Yoga Sutra), yang berhubungan dengan pembebasan jiwa.” Kedua
buku India ini juga memuat secara otentik sejarah akurat invasi Sultan
Mahmoud ke India.
Kepiawaian
dan kecerdasan Al-Biruni merangsang dirinya mendalami sekitar ilmu
astronomi. Ia misalnya memberikan perhatian yang besar terhadap
kemungkinan gerak bumi mengitari matahari. Sayangnya, bukunya yang
membicarakan soal ini hilang. Namun ia
berpendapat, seperti pernah ia sampaikan dalam suratnya kepada Ibnu
Sina, bahwa gerak eliptis lebih mungkin daripada gerak melingkar pada
planet. Al-Biruni konsisten mempertahankan pendapatnya tersebut, dan
ternyata di kemudian hari terbukti kebenarannya menurut ilmu astronomi
modern.
Sebagai
sosok yang gemar membaca dan menulis, kepakaran Al-Biruni tak hanya di
bidang ilmu eksakta. Ia juga mahir dalam disiplin filsafat. Karena itu,
ia dikenal sebagai salah seorang filsuf Muslim yang amat berpengaruh.
Pemikiran filsafat Al-Biruni banyak dipengaruhi oleh pemikiran filsafat
Al-Farabi, Al-Kindi, dan Al-Mas’udi (w. 956 M). Hidup sezaman dengan
filsuf besar dan pakar kedokteran Muslim, Ibnu Sina, Al-Biruni banyak
berdiskusi dengan Ibnu Sina, baik secara langsung maupun melalui surat
menyurat. Keduanya tak jarang terlibat debat sekitar pemikiran filsafat.
Ia misalnya menentang aliran paripatetik yang dianut oleh Ibnu Sina
dalam banyak aspek. Al-Biruni memperlihatkan ketidaktergantungan yang
agak besar terhadap filsafat Aristoteles dan kritis terhadap beberapa
hal dalam fisika paripatetik, seperti dalam masalah gerak dan tempat.
Semua
yang dilakukannya itu selalu ia landaskan pada prinsip-prinsip Islam,
serta meletakkan sains sebagai sarana untuk menyingkap rahasia alam.
Hasil eksperimen dan penelitiannya selalu bermuara pada pengakuan
keberadaan Sang Pencipta (Allah). Ketika seorang ilmuwan, katanya, akan
memutuskan untuk membedakan kebenaran dan kepalsuan, dia harus
menyelidiki dan mempelajari alam.
Kalau
pun ia tidak membutuhkan hal ini, maka ia perlu berpikir tentang hukum
alam yang mengatur cara-cara kerja alam semesta. Ini akan dapat
mengarahkannya untuk mengetahui kebenaran dan membuka jalan baginya
untuk mengetahui Wujud yang mengaturnya. Dalam bukunya Al-Jamahir,
Al-Biruni juga menegaskan,
”penglihatan menghubungkan apa yang kita lihat dengan tanda-tanda kebijaksanaan Allah dalam ciptaan-Nya.
Dari
penciptaan alam tersebut kita menyimpulkan eksistensi Allah.” Prinsip
ini dipegang teguh dalam setiap penyelidikannya. Ia tetap kritis dan
tidak memutlakkan metodologi dan hasil penelitiannya. Pandangan
Al-Biruni ini berbeda sekali dengan pandangan saintis Barat modern yang
melepaskan sains dari agama. Pandangan mereka tentang alam berusaha
menafikan keberadaan Allah sebagai pencipta.
Keberhasilan
Al-Biruni di bidang sains dan ilmu pengetahuan ini membuat decak kagum
kalangan Barat. Max Mayerhof misalnya mengatakan, “Abu Raihan Muhammad
ibn Al-Biruni dijuluki Master, dokter, astronom, matematikawan, ahli
fisika, ahli geografi, dan sejarahwan. Dia mungkin sosok paling menonjol
di seluruh bimasakti para ahli terpelajar sejagat, yang memacu zaman
keemasan ilmu pengetahuan Islam.” Pengakuan senada juga dilontarkan
sejarahwan asal India, Si JN Sircar. Seperti dikutip Jamal Ahmed, ia
menulis, “Hanya sedikit yang memahami fisika dan matematika. Di antara
yang sedikit itu yang terbesar di Asia adalah Al-Biruni, sekaligus
filsuf dan ilmuwan. Ia unggul sekaligus di kedua bidang tersebut.” Tokoh
dan ilmuwan besar ini akhirnya menghadap Sang Ilahi Rabbi pada 1048 M,
dalam usia 75 tahun.
Al-Biruni dan Karya
Laiknya
para ilmuwan Muslim generasi sebelum dan sesudahnya, Al-Biruni juga
dikenal sebagai penulis dan pemikir yang produktif. Menariknya lagi,
sebagian karya-karyanya tersebut dihasilkan ketika berpetualang ke
beberapa negeri. Menurut sumber-sumber otentik, karya Al-Biruni lebih
dari 200 buah, namun hanya sekitar 180 saja yang diketahui dan terlacak.
Beberapa di antara bukunya terbilang sebagai karya monumental. Seperti
buku Al-Atsarul Baqiyah ‘anil Qurunil Khaliyah (Peninggalan
Bangsa-bangsa Kuno) yang ditulisnya pada 998 M ketika ia merantau ke
Jurjan, daerah tenggara Laut Kaspia. Dalam karyanya tersebut, Al-Biruni
antara lain mengupas sekitar upacara-upacara ritual, pesta, dan
festival bangsa-bangsa kuno.
Masih
dalam lingkup yang sama, Al-Biruni tak menyia-nyiakan kesempatan
beberapa ekspedisi militer ke India bersama Sultan Mahmoud Gezna. Ia
pergunakan lawatannya tersebut dengan melakukan penelitian seputar adat
istiadat, agama, dan kepercayaan masyarakat India. Selain itu, ia juga
belajar filsafat Hindu pada sarjana setempat. Jerih payahnya inilah
menghasilkan karya besar berjudul Tarikhul Al-Hindy (Sejarah India)
tahun 1030 M. Intelektual Iran, Sayyed Hossein Nasr, dalam Science and
Civilization in Islam (1968), menyatakan, buku ini merupakan uraian
paling lengkap dan terbaik mengenai agama Hindu, sains, dan adat
istiadat India.
Al-Biruni,
dalam karyanya ini antara lain menulis analisis menarik, bahwa pada
awalnya manusia mempunyai keyakinan monoteisme, penuh kebaikan dan
menyembah Tuhan Yang Mahaesa. Tapi, lantaran
nafsu murka telah membawa mereka pada perbedaan agama, filsafat, dan
politik, sehingga mereka menyimpang dari monoteisme ini. Ia juga
membahas tentang geografi India. Al-Biruni juga berpendapat, lembah
Sungai Hindus dan India, mulanya terbenam dalam laut, namun perlahan
menjadi penuh endapan yang dibawa air sungai.
Tak
hanya menulis buku tentang sosiologi, Al-Biruni juga banyak menulis
tentang ilmu-ilmu eksakta seperti geometri, aritmatika, astronomi, dan
astrologi. Karya di bidang ini misalnya Tafhim li Awa’il Sina’atut
Tanjim. Khusus disiplin ilmu astronomi, ia menulis buku berjudul
Al-Qanun Al-Mas’udi fil Hai’ah wan Nujum (Teori tentang Perbintangan).
Di Barat, buku ini memperoleh penghargaan dan menjadi bacaan standar di
berbagai universitas Barat selama beberapa abad. Ilmuwan Muslim ini juga
dikenal sebagai pengamat pertambangan. Untuk masalah ini, ia menulis
buku Al-Jamahir fi Ma’rifatil Jawahir tahun 1041 M.
Karya
lainnya, di bidang kedokteran berjudul As-Saydala fit Thib (Farmasi
dalam ilmu Kedokteran), Al-Maqallid ‘Ilm Al-Hai’ah (tentang
perbintangan), serta buku Kitab Al-Kusuf wal Khusuf ‘Ala Khayal Al-Hunud
(Kitab tentang Pandangan Orang-orang India terhadap Peristiwa Gerhana
Matahari dan Gerhana Bulan). (Heri Sucipto)
0 komentar:
Posting Komentar